Selama tujuh ratus tahun sejak dicetuskan
Ptolemy di abad kedua masehi, tidak ada yang meragukan teori
geosentris. Selama bertahun-tahun, Ptolemy mengamati posisi benda-benda
langit dan mencatatnya dalam sebuah buku, almagest. Dari data ini
Ptolemy merumuskan model alam semesta. Ia ingin menjelaskan bagaimana
benda-benda langit itu bergerak.
Ptolemy percaya bahwa bulan, matahari, planet dan bintang-bintang
berada dalam bola kaca yang berlapis-lapis dan berputar mengelilingi
bumi. Bulan ada di lapisan terdalam, dan bintang-bintang ada di lapisan
terluar. Jadi bumi berada di pusat alam semesta.
Jika orbit benda langit berbentuk lingkaran, tentu kecepatan gerak
mereka di langit selalu konstan. Namun kenyataannya tidak demikian.
Planet kadang bergerak cepat, kadang melambat. Arah gerak planet juga
tidak selamanya tetap tapi kadang berlawanan arah membentuk simpul.
Bahkan pada hari-hari tertentu, planet tampak membesar dan mengecil.
Seolah planet-planet itu mendekat dan menjauhi bumi. Untuk menjelaskan
ini, Ptolemy berargumen bahwa selain mengelilingi bumi, planet juga
mengelilingi lingkaran yang lebih kecil yang disebut denganepicycle.
Namun tetap saja, model ini tidak bisa menjelaskan kecepatan gerak
planet yang berubah-ubah. Ptolemy kemudian memperoleh solusi matematis
dan menggeser posisi bumi. Bumi tidak lagi ditempatkan di pusat alam
semesta, digantikan oleh sebuah titik khayal yang disebut dengan equant.
Dilihat dari bumi, garis edar planet tampak berbalik dan membentuk simpul (gerak retrograde planet). Sumber: BBC4
Lebih jauh, Ptolemy memindahkan bumi dari pusat semesta dan menggantikannya dengan equant. Sumber: BBC4
Sampai di sini kita berhenti sejenak dan mencoba merasakan betapa
putus asanya Ptolemy. Dia tahu dia melakukan kesalahan dengan model
geosentris miliknya. Tapi dia juga tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia sadar, meski memiliki banyak kelemahan, teori geosentris adalah
solusi terbaik yang bisa dibuatnya.
Tujuh abad kemudian, Abu Abdullah Muhammad bin Jabir –atau yang
lebih kita kenal dengan nama al Battani– membaca almagest. Al Battani
merasa tertarik. Dengan berbekal keterampilan membuat instrumen yang
diwarisi dari ayahnya, al Battani membuat sextan. Alat untuk
mengukur arah dan ketinggian suatu benda. Dengan alat ini, al Battani
mengamati benda-benda langit dari tahun 877 hingga 918 dan
menuliskannya dalam tabel al Zij (O’Connor & Robertson 1999, Dodge
1970). Al Battani kemudian membandingkan tabel Zij miliknya dengan
almagest. Hasilnya, posisi matahari bergeser 16,47 derajat. Al Battani
mulai mempertanyakan keabsahan teori geosentris.
Pekerjaan al Battani dilanjutkan oleh Abu Ali Hasan bin Hasan bin
Haytham (Ibnu Haytham). Ibnu Haytham menemukan sebuah kontradiksi dalam
teori geosentris. Di satu sisi, teori ini mengatakan bahwa bumi adalah
pusat alam semesta. Tapi di sisi lain, Ptolemy mengatakan agar dapat
memprediksi posisi matahari dan planet secara matematis, mereka harus
mengelilingi equant. Mana yang benar? Keraguan ini mendorong Ibnu Haytham menulis buku as syuquuq al Batlamyus
(keraguan terhadap Ptolemy) di abad kesebelas. Menurut Ibnu Haytham,
sebuah teori baru akan valid jika konsisten secara matematis dan sesuai
dengan hasil pengamatan.
Tapi Ibnu Haytham juga tidak bisa membuat teori yang lebih baik.
Ibnu Haytham menulis dalam bukunya, betapa susahnya mencari kebenaran
ilmiah: “Kebenaran akan muncul dengan sendirinya. Tapi kebenaran itu
juga tidak luput dari ketidakpastian. Dan penulis tidak luput dari
kesalahan”. Meski ragu, Ibnu Haytham tetap mengikuti geosentris. Dia
membantah adanya equant dan mengatakan, “Bumi berbentuk bulat
yang pusatnya merupakan pusat alam semesta. Bumi diam, tidak bergerak
atau bergeser ke arah manapun” (Langerman, 1990).
Waktu berlalu. Kesempatan pun datang pada Muhammad bin Muhammad al
Tusi. Hidup di awal abad ke-13 di Persia sangat sulit. Tentara Mongol
menyerang dan menghancurkan kota-kota Islam satu persatu. Meski keadaan
tidak menentu, al Tusi tetap giat belajar di bawah bimbingan ayah dan
pamannya. Di usia 13 tahun, al Tusi harus mengungsi ke Nishapur karena
Mongol menyerang kampung halamannya. Di kota ini, al Tusi menyelesaikan
pendidikan dan menjadi ilmuwan di Istana Ismailiyah. Selain menjadi
benteng, istana ini juga menjadi pusat penelitian dan ibadah. Hasil
penggalian arkeolog menunjukkan di dalam benteng ini terdapat musholla
yang sangat luas. Dan di dalam istana inilah al Tusi menulis bukunya
yang paling fenomenal, tadhkirah fi ‘ilm al-hay’ah. Al Tusi menemukan jawaban bagaimana menghilangkan equant dari teori geosentris. Ia memodifikasi epicycle
menjadi dua lingkaran. Salah satu lingkaran berada di dalam lingkaran
yang lain dan keduanya saling mengorbit satu sama lain. Konsep ini
dikenal dengan al Tusi-couple.
Puing istana Ismailiyah. Kiri: Ini merupakan bekas musholla. Kanan: Ruangan tempat al Tusi menuliskan bukunya. Sumber: BBC4
Sesuai dengan ucapan Ibnu Haytham, setelah menemukan solusi
matematis, al Tusi juga harus melakukan pengamatan untuk menguji
teorinya. Untuk itu, ia membutuhkan alat yang sangat besar agar data
yang diperolehnya nanti memiliki presisi yang tinggi.
Sayangnya, pasukan Mongol menyerang di tahun 1255. Al Tusi melakukan
negosiasi untuk menyelamatkan nyawanya dan mewujudkan ambisi
ilmiahnya. Ia menemui pemimpin Mongol, Ogedei Khan (putra Jenghis
Khan), dan berhasil meyakinkan bahwa ia dapat meramal masa depan jika
ia diijinkan membangun sebuah observatorium (tapi tentunnya, tanpa
teleskop karena belum ditemukan di masa itu). Ogedei Khan menyetujui
ide ini. Dibentuklah sebuah tim yang beranggotakan orang Cina, Moroko
dan Persia untuk membangun observatorium yang dilengkapi dengan
perpustakaan, kantor dan masjid.
Di dalam observatorium miliknya, Al Tusi mendirikan busur raksasa
berdiameter 10 meter. Busur ini diberi garis-garis sebagai penanda
derajat dan menit busur (1 derajat = 60 menit busur). Cara
mengoperasikan busur ini sederhana. Cukup dengan memposisikan benda
langit yang ingin diamati di tengah, lalu baca skala yang tertera di
busur. Angka yang terbaca merupakan posisi (koordinat) benda langit
tersebut. Dibantu ilmuwan dari negara lain, al Tusi berhasil
mengembangkan al Tusi-couple, memprediksi posisi planet-planet, dan gerhana. Tapi, tetap saja, teori yang dikembangkan al Tusi masih geosentris.
Obervatorium
yang dibangun al Tusi. Di dalam observatorium ini terdapat busur
berdiameter 10 m. Cahaya dari benda langit akan menandai skala dan
posisinya dapat ditentukan. Sumber: BBC4
Temuan ilmuwan-ilmuwan muslim ini sampai ke Venesia. Di masa itu,
Venesia adalah kota yang unik dan tidak terikat hukum negara manapun.
Berdiri di atas laut, Venesia menjadi surga bagi pedagang dan bajak
laut. Semua barang berharga dari hasil perdagangan maupun merompak,
dikumpulkan di menara Campanile. Termasuk buku. Buku para ilmuwan muslim
kemudian diterjemahkan dan dipelajari. Buku aljabar dan Zid milik al
Battani, misalnya, diterbitkan ulang di Venesia dalam bahasa latin di
abad keduabelas.
Buku-buku ini kemudian sampai ke tangan Nicolas Copernicus dan
memberinya petunjuk untuk merumuskan teori heliosentris dan membukukan de revolutionibus orbium coelestium
. Dalam bukunya, Copernicus menyajikan berlembar-lembar tabel posisi
benda-benda langit untuk mendukung teori heliosentris. Tabel ini
benar-benar identik dengan al Zij. Dan Copernicus mengakuinya. Di
halaman 64 de revolutionibus (Copernicus, 1543), ia menulis
bahwa data pengamatan yang ia gunakan adalah karya ilmuwan muslim
bernama Machometi Aracenfis (al Battani). Di halaman lain juga terdapat
ilustrasi al Tusi-couple yang sangat identik dengan ilustrasi di buku tadhkirah fi ‘ilm al-hay’ah.
Bahkan, sampai ke notasi yang digunakan. Bila al Tusi menggunakan
alif, ba, ta, dal, jim, maka Copernicus menggunakan A, B, C, D, G.
Copernicus
mengilustrasikan teori heliosentris. Alam semesta ini berupa bola yang
terdiri dari 7 lapisan dengan matahari terletak di pusatnya.
Berturut-turut, mulai dari lapisan terdalam terdapat merkurius, venus,
bumi + bulan, mars, jupiter, saturnus, dan bintang-bintang. Sumber:
http://ads.harvard.edu/books/1543droc.book/
Copernicus
menyebut al Battani sebagai Machometi Aracenfis. Al Battani terkenal
karena tabel pengamatannya yang telah meng-katalog-kan 489 bintang dan
menamainya dengan nama-nama arab seperti albali, suhail, hadar, hamal,
alnitak, altair, dll. Dari tabel ini pula al Battani menentukan satu
tahun lamanya 365 hari 5 jam 46 menit 24 detik, menghitung presesi
equinox sebesar 0,015 derajat per tahun, dan menentukan kemiringan sumbu
orbit bumi sebesar 23,583 derajat. Sumber: BBC 4
Kiri:
solusi geometris dalam buku Copernicus. Kanan: al Tusi-couple. Notasi
yang digunakan sangat mirip. Dal menjadi D (tengah). Jim menjadi G
(bawah). Sumber: BBC4
Sebuah pertanyaan yang menggelitik pun muncul. Apa yang menyebabkan
sains berpindah dari ilmuwan muslim ke tangan orang barat? Kenapa
textbook sejarah sains biasanya tidak memuat sains Islam (setelah Romawi
di akhir abad kedua, langsung ‘melompat’ ke Eropa di abad
pertengahan)? Salah satu alasannya, karena naskah asli dalam bahasa
arab sudah tidak ada. Dan ketika diterjemahkan ke dalam bahasa latin,
seringali mengalami penggantian nama penulis. Misal, al Battani menjadi
Machometi Aracenfis. Alasan lain, karena tulisan arab memiliki banyak
kosakata dan dialek. Sehingga untuk menulis kata yang tepat diperlukan
banyak simbol (tanwin, fathah, kasrah, dll). Ketika buku masih ditulis
tangan, hal ini tidak menjadi masalah besar. Tapi ketika bangsa barat
menemukan teknologi percetakan, ceritanya jadi lain. Mencetak buku
berbahasa arab pada wakt itu sangat merepotkan. Pada akhirnya, ketika
buku-buku latin dicetak, jumlahnya jauh melebihi buku arab.
Dua dasawarsa lalu, ditemukan al Qur’an edisi cetakan yang pertama.
Dan yang menarik, Qur’an ini tidak dicetak di arab, melainkan di
Venesia tahun 1537 atau 1538 (Nuovo, 1990). Al Qur’an cetakan ini
ditulis dalam huruf arab, kecuali sedikit font MS marginalia dalam
bentuk latin untuk menandai notasi dan menulis nama pemilik Qur’an ini:
Teseo Ambrogio degli Albonesi. Jelas bahwa al Qur’an ini dicetak oleh
orang yang tidak tahu bahasa arab karena terdapat kata ‘dzalika’ yang ditulis ‘dzalaka’.
Keadaan makin diperparah oleh perang yang berkepanjangan. Di abad
kesepuluh dan kesebelas, serangan Mongol telah menghancurkan ribuan buku
berharga. Kemudian di tahun 1492, Spanyol di bawah pimpinan Raja
Ferdinand II dan Ratu Isabella mengusir muslim di Grenada dan menjadi
tanda berakhirnya kekuasaan pemerintah islam di Eropa. Karena ingin
menghilangkan semua yang berbau Islam, di tahun 1499, Spanyol membakar
semua buku-buku Islam dan hanya menyisakan sedikit buku kedokteran. Dan
entah berapa banyak lagi buku yang musnah atau dicuri ketika terjadi
perang salib.
Satu alasan lagi yang patut disebutkan di sini adalah penemuan dunia
baru oleh Colombus. Emas, perak, dan barang berharga lain mengalir
bagaikan banjir dari Amerika ke Eropa, mengubah benua yang tadinya
gelap (tidak berperadaban, miskin, rakyatnya sering mati kelaparan,
penuh dengan perampokan) menjadi daerah yang kaya raya. Hingga para
pemimpinnya hampir setiap hari berpesta dan berfoya-foya. Dan sialnya,
sains selalu mengikuti ke manapun uang pergi (pengalaman selama di Fakultas MIskin dan PApa). Ini menjelaskan kenapa buku la principia
Newton tidak diterbitkan di Baghdad, tapi di London. Semakin lama,
ilmuwan muslim makin tidak dapat mengikuti sains yang berkembang makin
cepat dan makin mahal.
Tapi kenapa hasil karya ilmuwan muslim terlupakan? Bahkan hampir
tabu untuk diajarkan? Mungkin, saya bilang mungkin…. jawabannya
sederhana. Karena superioritas dunia barat di bidang sains. Selama 400
tahun, hampir semua penemuan dan terobosan ilmiah terjadi di Eropa
(saya bisa menyebut orang Amerika sebagai Eropa juga karena mereka
memang rakyat Eropa yang bermigrasi).
sumber:errahman-share.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar